Tuhan, Salahkah saya?

Masih inget mentoring AAI beberapa bulan yang lalu. Ketika mentor saya, beliau mbak Ika Fitri tidak bias hadir memberi mentoring, lalu digantikan oleh seorang teman beliau [jujur: saya lupa namanya hehehe]. Setelah serangkaian acara pada session terakhir ada diskusi ringan Tanya-jawab, ketika itu, ada sebuah statement entah itu dari mbak asisten AAI tersebut atau dari teman saya. “Bahwasanya segala yang kita perbuat haruslah hanya karena Allah semata dan tidak boleh ada yang lain, hidup, mati dan segalanya hanyalah untuk dan karena-Nya. Jika kita sudah tidak sedemikian itu, maka tak dipungkiri kalau kita terserang penyakit cinta dunia dan takut mati”
Deg….langsung angan saya menerawang tidak jelas kesana kemari. Mempertanyakan sendiri, bagaimana kemudian nasib mimpi-mimpi saya. Apakah mimpi saya itu juga bagian dari penyakit cinta dunia takut mati?
Saya angkat tangan saya “Mbak boleh bertanya?”, ucap saya pelan. Kemudian saya lontarkan pertanyaan saya setelah saya mendapat ada kode mengiyakan dari beliau. “Begini mbak, saya dan kami teman-teman di sini kan masih muda, masih punya cita-cita yang begitu tinggi, punya mimpi yang katakanlah selangit begitu, terkadang, atau bahkan sering kami, khususnya saya, selalu menjadikan mimpi-mimpi itu sebagai semangat dalam belajar. Karena dengan mengacu pada mimpi tersebut kemudian saya termotivasi untuk menjadi lebih baik. Pun tumbuh dalam benak saya, saya mau hidup berguna dan belum mau mati, jika saya belum meraih mimpi tersebut. Apakah ini juga salah satu penyakit yang mbak tuturkan tadi?”
Melalui pertanyaan tersebut kemudian saya mendapat jawaban yang tidak saya pungkiri juga sebagai tamparan keras. Ketika apa yang saya tanyakan pada bagian terakhir di iyakan oleh pementor saya tersebut. Kemudian saya dinasehati untuk selalu berlaku dan bertindak atas orientasi kepada-Nya.
Sampai sekarang, saya bimbang, Tuhan, apakah salah ketika saya hidup dan memutuskan untuk menjadi pemimpi sejati, menjadi pemimpi yang selalu mencharge semangat saya dari mimpi-mimpi tersebut. Sedang memang [hanya] terkadang saya merindukan mati dan bertemu dengan-Mu, karena sungguh, saya ingin memeluk erat mimpi tersebut sebelum ruh saya meninggalkan raga, kemudian saya datang pada-Mu dengan keikhlasan serta syukur luar biasa karena Engkau telah menunjukan betapa Maha adilnya Engkau yang telah member saya hidup yang begitu berwarna dengan goresan mimpi yang mampu menjadi rona nyata dalam kehidupan.
Tuhan, tolong jawab kebimbangan saya. Salah kah saya Ya Tuhan , bila sebagian besar hidup saya adalah mimpi yang saya bangun untuk saya realisasikan dengan usaha dan doa pada-Mu.
Tuhan, salahkah saya? Salahkah saya dengan aroma-aroma NTU yang selalu mengusik hari-hari saya dengan pesona mimpi luar biasanya, pesona mimpi yang selalu membuat saya mau belajar dan berupaya menjadi semakin baik?

NTU, Bukan sekedar Mimpi!

Nanyang Technological University alias NTU. Salah satu kampus kelas dunia yang berada di negeri tetangga kita. Negeri kecil namun punya sesuatu yang saya namakan itu aset “pendidikan” yang jauh lebih besar ketimbang yang dimiliki oleh negeri yang sebesar negeri di sebelahnya , Indonesia.
Awalnya saya tidak pernah memikirkan soal itu, apa itu NTU dan seterusnya. Toh saya menembus kampus negeri di Indonesia saja susah, kok mau mikirin kampus di negeri orang yang sudah diakui oleh dunia. Kemustahilan luar biasa dalam logika saya.

Pelan saya kemudian menapaki sejarah kehidupan saya. Saya dulu SD kemudian SMP lalu SMA dan kemudian saya telah lulus. Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada akhirnya ia mencatatkan saya sebagai salah satu mahasiswanya. Senang? Tentu saja. Saya tidak menyangka, satu kemudian kampus negeri yang cukup lumayan kualitasnya itu mau menerima saya. Walaupun memang ia bukan [U]niversitas [I]mpian, [U]niversitas [G]emerlap [M]impi , [I]nstitute [T]erisi [B]eribu_cita ataupun yang pernah saya harapkan [I]nstitute [T]empat [S]ejuta_asa. Sudahlah itu tak penting, sekarang saya berada di [U]niversitas [N]omor [S]atu di hati saya, buat apa saya mikirin yang lain.

Kemudian satu persatu saya menemukan berbagai warna yang cerah dan saya yakini warna-warna itu adalah inspirasi bagi masa depan saya. Saya harus bersemangat dan mau belajar pada intinya yang saya dapatkan dari beberapa hari pengenalan dengan kampus yang menempatkan saya di fakultas aneh bagi jurusan Teknik Informatika itu. FMIPA… 😀 [ini bukan hal penting untuk diceritakan deh rasanya soal jurusan aneh di FMIPA!]

Saya mulai berani menancapkan mimpi saya setinggi mungkin setiap kali saya menemukan orang-orang luar biasa di sana, tempat saya belajar. Dari situlah pada akhirnya saya yang hanya biasa-biasa saja ini kemudian menjadi orang yang berani bermimpi untuk menjadi luar biasa.
Menjadi maganger di Badan Eksekutif Mahasiswa, dari situlah saya kemudian menyibak beribu petuah bagaimana saya seharusnya sebagai pemegang nama “mahasiswa” dalam kehidupan saya harus bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Pun Bagaimana saya mesti tidak congak dengan predikat tersebut. Mahasiswa juga cuma rakyat jelata. Akhirnya saya menemukan prinsip hidup saya [bermimpi, berjuang dan berbagi ++ ngaji]

satu, dua dan tiga tiba-tiba saya mimpikan lagi sesuatu yang pernah saya patrikan akan menjadi hal yang mustahil bagi kehidupan saya. NTU. Ya benar NTU yang kokoh berada di negeri kecil namun sarat dengan aroma sedap pendidikan yang di mata saya [saat ini] adalah aroma paling menggoda dihirup dari belahan dunia manapun. Boleh saya mimpikan NTU lagi, jauh lebih dalam dari yang sebelumnya dan makin dalam lagi setiap kali saya pandangi gambar gedung ukuran 10R di kamar kos saya. Semakin lebih dalam lagi ketika saya membaca tentang kisah mahasiswa Indonesia di sana dan jauh semakin lebih dalam lagi ketika saya memacu semangat dalam diri saya untuk menjadi pioner dan membuat orang-orang yang menyayangi saya kemudian tersenyum bangga dan tak pernah menyesal untuk menjadikan saya sebagai orang yang disayanginya.

Kini, NTU bukan hanya sekedar mimpi [bukan karena telah tercapai] karena dengannya saya mampu menjadi orang yang bersemangat dalam meneguhkan visi dan prinsip hidup saya. Bagaimana kemudian dengan berani saya menancapkan tujuan saya adalah NTU adalah karena juga ia bukan sekedar mimpi bagi saya, seolah bayangan yang menghantui dengan indah hari-hari saya.
Saya dan NTU adalah karena cinta dan cita dalam hari saya, bukan karena seorangpun yang saya tuju.

Semoga, NTU adalah kenyataan bagi saya beberapa tahun lagi. NTU. [N]ow [T]here [U]_feel_so_real. Wait me!